Demo Ala Jepang
Sejak pemerintah mengumumkan kenaikan BBM tanggal 17 Oktober lalu hampir di semua media baik cetak maupun televisi kita disuguhi dengan berita demonstrasi penolakan kenaikan BBM baik oleh masyarakat maupun oleh mahasiswa. Hampir setiap hari jalanan macet karena aksi penutupan jalan yang dilakukan oleh mahasiswa. Masyarakat yang sudah menderita dengan kenaikan harga sembako sebagai imbas kenaikan BBM semakin merana karena harus berjejal-jejal di udara panas karena jalanan macet, Banyak masyarakat yang tidak simpati bahkan mengutuk aksi mahasiswa yang katanya memperjuangkan kepentingan rakyat tapi malah menyengsarakan rakyat yang dibelanya.
Aksi-aksi anarkis seakan sudah menjadi bagian dari demo mahasiswa di Makassar. Terlepas dari isu aksi tersebut disusupi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab kenyataannya aksi anarkis banyak menimbulkan kerugian baik nyawa, korban luka maupun kerusakan fasilitas umum. Tidak ada gunanya mencari kambing hitam siapa yang harus bertanggung jawab atas aksi anarkisme mahasiswa. Apa yang diperoleh dengan menjadi anarkis? Tidak ada.... Kemarahan tidak akan membuahkan hasil yang baik.
Sementara di Kyoto Jepang, saat beberapa waktu lalu tinggal saya di sana, masyarakat pun melakukan demonstrasi untuk menyuarakan a
spirasi atas ketidak setujuan dengan kebijakan pemerintah. Tapi berbeda dengan aksi anarkis pendemo kita, para pendemo Jepang melakukannya dengan teratur, santun, membawa spanduk yang berisi ungkapan sikap mereka. Supaya aksinya menjadi perhatian masyarakat mereka tidak perlu bakar ban, menutup jalan dan berteriak lewat loudspeaker yang memekakkan telinga tapi cukup dengan membawa alat musik seperti genderang, gitar dan lain-lainnya sambil bernyanyi. Mereka juga tidak perlu menutup jalan yang menimbulkan kemacetan dan gerutu dari masyarakat karena mereka hanya berjalan di pinggir-pinggir jalan saja.
Memang kesantunan sudah menjadi bagian dari karakter masyarakat Jepang.
Bagaimana dengan kita, apakah kesantunan yang katanya bagian dari budaya timur yang kita agung-agungkan sudah hilang? Entahlah...
Aksi-aksi anarkis seakan sudah menjadi bagian dari demo mahasiswa di Makassar. Terlepas dari isu aksi tersebut disusupi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab kenyataannya aksi anarkis banyak menimbulkan kerugian baik nyawa, korban luka maupun kerusakan fasilitas umum. Tidak ada gunanya mencari kambing hitam siapa yang harus bertanggung jawab atas aksi anarkisme mahasiswa. Apa yang diperoleh dengan menjadi anarkis? Tidak ada.... Kemarahan tidak akan membuahkan hasil yang baik.
Sementara di Kyoto Jepang, saat beberapa waktu lalu tinggal saya di sana, masyarakat pun melakukan demonstrasi untuk menyuarakan a
spirasi atas ketidak setujuan dengan kebijakan pemerintah. Tapi berbeda dengan aksi anarkis pendemo kita, para pendemo Jepang melakukannya dengan teratur, santun, membawa spanduk yang berisi ungkapan sikap mereka. Supaya aksinya menjadi perhatian masyarakat mereka tidak perlu bakar ban, menutup jalan dan berteriak lewat loudspeaker yang memekakkan telinga tapi cukup dengan membawa alat musik seperti genderang, gitar dan lain-lainnya sambil bernyanyi. Mereka juga tidak perlu menutup jalan yang menimbulkan kemacetan dan gerutu dari masyarakat karena mereka hanya berjalan di pinggir-pinggir jalan saja.
Memang kesantunan sudah menjadi bagian dari karakter masyarakat Jepang.
Bagaimana dengan kita, apakah kesantunan yang katanya bagian dari budaya timur yang kita agung-agungkan sudah hilang? Entahlah...
Comments
Post a Comment